KENDARI, – Penurunan kuota Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tahun 2024 memicu kekhawatiran mendalam di kalangan pengembang perumahan di Sulawesi Tenggara. Dampak dari penurunan ini tidak hanya mengancam akses perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tetapi juga berdampak pada nasib ribuan pekerja bangunan yang bergantung pada proyek pembangunan rumah subsidi.
Pada 2023, pemerintah mengalokasikan kuota FLPP sebanyak 229.000 unit. Namun, pada 2024, kuota ini menurun drastis menjadi hanya 166.000 unit. Penurunan ini berpotensi mengganggu kelangsungan proyek perumahan subsidi yang selama ini menjadi andalan banyak pengembang di Sulawesi Tenggara.
Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sulawesi Tenggara, Muhammad Rustan, menilai penurunan kuota ini sebagai ancaman serius bagi sektor properti dan stabilitas ekonomi daerah. Menurut Rustan, dampak dari penurunan kuota ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh rumah subsidi dan mengancam keberlangsungan ekonomi lokal.
“Penurunan kuota ini dapat berakibat fatal bagi sektor properti di Sulawesi Tenggara. Banyak pekerja bangunan yang bergantung pada proyek perumahan subsidi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika pembangunan rumah subsidi terhambat, kita akan menghadapi gelombang kehilangan pekerjaan yang signifikan di kalangan buruh bangunan,” ungkap Rustan.
Sektor konstruksi, terutama proyek pembangunan rumah subsidi, telah menjadi sumber utama lapangan kerja bagi ribuan pekerja, mulai dari tukang hingga tenaga kerja lepas. Rustan menjelaskan bahwa berkurangnya kuota KPR subsidi dapat menyebabkan terhentinya banyak proyek, yang berpotensi menambah pengangguran dan kesulitan ekonomi bagi keluarga pekerja.
“Para pekerja bangunan adalah pilar utama dari setiap proyek perumahan. Jika proyek-proyek ini dihentikan atau tertunda karena kuota yang terbatas, mereka akan kehilangan pekerjaan, yang berdampak langsung pada ekonomi mereka dan menambah masalah sosial baru,” tambahnya.
Dampak dari penurunan kuota juga akan meluas ke perekonomian lokal, termasuk penurunan pembelian bahan bangunan, berkurangnya aktivitas ekonomi di sekitar lokasi pembangunan, dan penurunan pendapatan untuk bisnis kecil yang bergantung pada sektor konstruksi.
Rustan menegaskan, “Jika masalah ini tidak segera ditangani, banyak keluarga akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ini adalah masalah ekonomi dan sosial yang harus segera diatasi.”
Dalam menghadapi situasi yang semakin mendesak, Apersi Sulawesi Tenggara berharap pemerintah yang baru akan memberikan solusi yang cepat dan efektif. Mereka mendesak agar kuota FLPP 2024 ditinjau kembali dan ditingkatkan agar proyek-proyek pembangunan perumahan dapat terus berjalan, menjaga lapangan kerja bagi para pekerja bangunan dan stabilitas sektor properti.
“Harapan kami, pemerintah dapat memahami dampak luas dari penurunan kuota ini. Ini bukan hanya tentang rumah subsidi, tetapi juga tentang ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Kami memerlukan tindakan cepat dan solusi yang nyata,” tutup Rustan. (Red)